http://tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/05/brk,20101105-289762,id.html.
TEMPO Interaktif, Yogyakarta-Ade Surya terkulai lemah di pojok ruang unit perawatan luka bakar Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Sardjito, Kota Yogyakarta. Separuh kulit wajahnya melepuh. Begitu juga kulit di kedua tangan dan kakinya.
Selain menderita luka bakar, dia juga sesak napas, hidungnya pun kini dipasang selang bantu pernafasan. Pemilik nama lengkap Ade Surya Digsinaga ini merupakan korban selamat dari amuk awan panas yang keluar dari perut merapi, Kamis tengah malam kemarin.
Mahasiswa semester V Universitas Negeri Yogyakarta ini menceritakan perjuangannya selamat dari terjangan awan panas. Surya tinggal di Dusun Branggong, Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, yang berjarak sekitar 18 kilometer dari puncak Merapi. Dia sebelumnya tidak menyangka wedus gembel akan menerjang rumahnya. “Rumah saya tidak masuk radius bahaya,” katanya.
Saat itu ia dan tetangganya tidak yakin kalau wedus gembel bakal sampai kampung. Alasanya, beberapa warga masih ngotot radius awan panas tidak akan lebih dari 15 kilometer. Warga semakin yakin setelah ledakan terjadi keadaan Merapi kemudian tenang.
“Saat ada 15 orang berkumpul di dalam rumah siap-siap mengungsi. Tapi rencana itu urung karena setelah ledakkan tidak terjadi apa-apa,” kata dia mengawali cerita.
Namun, perkiraan itu meleset. Beberapa menit setelah terdengar bunyi ledakkan, mendadak orang-orang di luar rumah berteriak mengucap istighfar. Saat itu dia bersama 15 orang-kedua orang tuanya, dua adiknya, juga tetangganya, berada di ruang tamu. Mendadak, bersamaan dengan lolongan istighfar orang-orang di luar rumah, angin kencang yang membawa asap hitam pekat mendobrak pintu dan jendela rumahnya.
Asap hitam itu langsung memenuhi ruangan dengan suhu teramat panas. Kepulan awan juga membawa debu-debu panas. “Debunya panas. Saya sesak, juga ngeri, ada debu-debu menyala mirip percikkan orang sedang mengelas besi,” kenangnya. Tak kuat dengan awan yang panas itu dia pun berlari ke kamarnya di lantai dua. Dia lalu sembunyi di bawah kasur ranjangnya.
Beberapa menit kemudian, Surya kemudian membuka kasurnya. Saat itu rumahnya dalam keadaan gelap. Dia menahan nafas, lalu berjalan mencari kaos yang dibasahi dengan air WC. Kaos basah itu ia gunakan sebagai masker.
Dia lalu berteriak memanggil keluarganya di lantai bawah, tapi tak ada jawaban. Setelah dilihat di lantai bawah, ia kaget luar biasa melihat mayat bergelimpungan dengan tubuh penuh debu panas, termasuk mayat ibu dan adik perempuanya.
Sekuat tenaga Surya mendatangi satu persatu mayat itu, siapa tahu ada yang hidup. Namun, saking panasnya debu-debu itu, ia tak bisa menyentuh tubuh para mayat. Tangannya sempat terbakar ketika hendak mendekap tubuh adik dan ibunya. Dia lalu berteriak memanggil ayah dan adiknya, yang saat petaka itu terjadi keduanya berada di luar rumah, tapi tetap tidak ada jawaban.
Surya lalu bangkit mencari keduanya ke luar rumah. Namun ayah dan adik laki-lakinya tidak menjawab. Ia hanya melihat empat tetangganya lari sempoyongan memecah debu panas di kegelapan malam. Surya lalu menghubungi kawan-kawanya di kota meminta pertolongan. Hingga satu jam kemudian tim penolong datang.
Surya satu-satunya warga yang selamat dari 15 orang yang tinggal di rumahnya. Hingga kini dia belum bertemu dengan ayah dan adik laki-lakinya. “Saya sudah tahu kalau ibu dan adik perempuan saya mati. Tapi ayah dan adik laki-laki saya, masih hidup atau sudah mati saya tidak tahu,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
MUHAMMAD TAUFIK
November 6, 2010
Categories: Tak Berkategori . . Author: Dani Ramdani . Comments: Leave a comment